Rabu, 04 Juli 2012

Tertawa, Cara Baru Menjadi Sehat


Psikologi Zone – Saat ini tertawa bisa dijadikan obat dan berkhasiat. Pernyataan ini bukan tanpa alasan dan bukti ilmiah.
Saat seseorang tertawa sampai terpingkal-pingkal, saat itu juga ia sudah mendapatkan manfaat sehatnya tertawa. Tertawa yang sehat tidak cukup hanya sekedar tertawa, namun sampai membuat seseorang terpingkal-pingkal.
“Pada saat tertawa sampai terpingkal, otot-otot bahu, dada, perut, dan pernapasan lebih bergiat. Jantung lebih terpacu, paru-paru lebih mekar, sekat rongga badan lebih mengembang, dan peredaran darah tubuh lebih deras,” tutur Dr. Handrawan Nadesul dalam sebuah buku berjudul “Jurus Sehat Tanpa Ongkos”.
Dibalik manfaat penting dari tertawa bagi kesehatan, justru semakin beranjak dewasa seseorang, frekuensi tertawa semakin berkurang. Anak-anak tertawa sebanyak 400 kali dalam satu hari, sedangkan pada usia lanjut hanya 15 kali.
Padahal tertawa dalam waktu satu menit sama dengan relaksasi selama 40 menit. Bila tertawa selama 15 menit identik dengan membakar 50 kalori tubuh.
“Manfaat terpenting tertawa menghasilkan hormon endorphin atau morfin produksi tubuh. Tonicum alami ini membantu mengendurkan rasa ‘perih pedih’ kehidupan,” jelasnya.
Manfaat lain dari pengenduran otot saat tertawa terpingkal adalah rendanya penyakit yang diakibatkan oleh stres.
“Stres mengendur dan badan jadi rileks. Segala keluhan dan penyakit yang timbul akibat stres dapat dicegah dan jadi mereda oleh tertawa,” kata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta ini.
Laughter Therapy atau terapi tertawa diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Madam Kataria (1995) di India. Sekarang ini, terapi tertawa sudah banyak dikenal oleh para ahli di seluruh dunia.
Di Indonesia, terapi tertawa dipelopori oleh Dr. Yul Iskandar, SpKJ. Bahkan, Hari Tertawa Sedunia juga diadakan di Denmark tahun 2000. Acara tersebut diikuti oleh 10.000 orang tertawa bersama-sama dan masuk dalam Guiness Book of World Record. (okz/mba)

Kemampuan Sosial Bantu Anak Beradaptasi


Psikologi Zone – Orang tua perlu untuk untuk membangun kompetensi sosial anak, mereka harus mulai membangun kecerdasan sosial sejak dini. Anak harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar mereka, menjalin hubungan emosional dan juga mendapatkan nutrisi yang seimbang.


Mengapa kemampuan sosial sangat penting? menurut Psikolog dan Direktur Personal Growth, Counseling & Development Centre, Jakarta, Ratih Ibrahim mengatakan, bila anak tidak dapat mencatat kompetensi sosial minimal usia enam tahun, maka sebagian besar anak-anak akan mengalami masalah saat dewasa dalam bidang tertentu.
“Hasil berbagai penelitian yang dilakukan dalam rentang waktu tahun 1990-2000 menunjukkan bahwa adaptasi sosial dan emosional anak jangka panjang, perkembangan akademik dan kognitifnya, dan kehidupannya,” paparnya belum lama ini.
Berbagai hasil studi tersebut menunjukkan betapa pentingnya perkembangan sosio-emosional anak saat mereka masih
dalam tahap pertumbuhan. Kemampuan sosial akan makin berkembang bila mereka ikut berpartisipasi aktif, bukan hanya mengamati dan merasakan pengaruh orang dewasa di sekitarnya.
“Jangan lupa bahwa orangtua merupakan role-model, dan anak dapat belajar untuk meniru sikap orang tua tersebut dengan lingkungan sosialnya. Mari para orangtua di Indonesia, kita bersama-sama mewujudkan dan mencetak anak yang life-ready di masa depannya, agar mereka mampu menjalani segala tantangan dunia,” jelasnya. (trbn/mba)

Selasa, 26 Juni 2012

Wanita Lebih Beresiko Kecanduan Facebook


Psikologi Zone – Hasil sebuah penelitian baru mengatakan bahwa wanita memiliki potensi lebih besar dari pada pria mengalami kecanduan pada jejaring sosial. Studi tersebut dipublikan dalam Psychological Reports Journal.

Penelitian ini dil
akukan oleh Cecilie Schou Andreassen, Torbjorn Torsheim, Geir Scott Brunborg, dan Stale Pallesen dari Department of Psychosocial Science University of Bergen, Norway.
Para psikolog yang tergabung dalam penelitian ini melibatkan 423 pelajar. Para peneliti akan mengamati tanda-tanda perilaku adaptif saat mereka menggunakan Facebook. Para peneliti menggunakan sebuah alat ukur yang disebut “Bergen Facebook Addiction Scale”.
Alat ukur tersebut dapat mengetahui bagaimana skor adiktif partisipan berdasarkan tingkat penggunaan Facebook. Nilai skala diukur mulai dari skala satu hingga skala lima. Selain menggunakan alat ukur, para siswa juga diminta memberikan komentar terkait dengan dorongan perasaan mereka untuk menggunakan Facebook. Termasuk saat kegagalan mereka untuk mengakses facebook dan pembatasan pengunaan jejaring sosial tersebut.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung, beberapa peserta menunjukkan tanda-tanda mengalami bentuk kecanduan Facebook. Bentuk adiktif tersebut sama dengan apa yang dialami seseorang yang mengalami kecanduan obat-ob
atan, alkohol, dan zat kimia lainnya.
Menurut para peneliti, siswa yang berusia lebih muda memiliki potensi lebih besar mengalami kecanduan jejaring sosial seperti Facebook dibandingkan dengan pelajar yang usianya lebih tua. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, wanita memiliki resiko lebih besar dibanding pria.
Para peneliti juga menambahkan, seseorang yang mengalami kecemasan atau ketidaknyamanan sosial lebih berpotensi menjadi pengguna setia situs jejaring sosial seperti facebook. Kondisi semacam ini bisa terjadi lantaran mereka merasa diberikan kemudahan untuk menyalurkan perasaan menggunakan teknologi dibandingkan saat berkomunikasi langsung. (kmp/mba)

Saat Frustasi Orang Juga Tersenyum


Psikologi Zone – Sebuah penelitian baru menemukan bahwa saat orang frustasi, mereka biasa tersenyum. Apakah Anda termasuk salah satu dari mereka? Ihsan Hoque, seorang peneliti dari Massachussets Institute of Technology, merancang sebuah program komputer yang dapat mengungkapkan perbedaan antara senyum kesenangan atau senyum dari bentuk frustasi.

Program tersebut dapat mengidentifikasi emosi penggunanya dan akan memberikan respon. Hasil penemuan ini diharapkan mampu membantu banyak tenaga profesional dalam memahami ekspresi orang autistik.
Penelitian ini diujicobakan oleh peneliti MIT Media Lab, para peserta diminta untuk mengeluarkan ekspresi kegembiraan atau frustasi, webcam kemudian akan merekam ekspresi mereka.
Pertama, para peserta diminta untuk mengikuti tes online yang dirancang untuk membuat mereka mengalami frustasi dan menonton video lucu untuk menciptakan respon kegembiraan.
Saat peserta diharuskan untuk pura-pura mengalami frustasi, 9 dari 10 peserta tidak tersenyum. Hal yang berbeda saat mereka benar-benar mengalami frustasi, sebanyak 90 persen dari mereka justru tersenyum.
“Penelitian ini mungkin menjadi awal pengetahuan untuk mengetahui hubungan senyuman dalam ekspresi emosi negatif. Ini menunjukkan pada kita bahwa tidak semua senyum bersifat positif,” papar Psikolog Prof Jeffrey Cohn, dari University of Pittsburgh, salah satu peneliti dalam studi tersebut, dikutip The Telegraph (28/5). (tgj/mba)

Senin, 25 Juni 2012

Buster, Aplikasi untuk Memilih Jurusan Sesuai Karakter

Psikologi Zone – Setiap akhir sekolah, banyak siswa kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA) mulai menentukan jurusan apa kelak yang akan mereka masuki dalam jenjang perkuliahan. Namun banyak diantara mereka justru tak tahun harus kemana.
Kini mereka tidak perlu lagi khawatir, melalui program karya mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, permasalahan bisa diatasi.
Sebuah aplikasi kreatif dari Adalah Mochammad Rashid Ridho, Ahmad Taufiqul Hafizh, Rachmadian M Pratiwi, Faishal Mufied Al-Anshary, dan Adhika Ilham Dhata Pratomo, dapat membantu siswa menentukan apa jurusan atau prodi yang sesuai dengan karakter diri mereka.
Hasil karya empat mahasiswa Sistem Informasi (SI) ITS dinamai dengan Buster, singkatan dari Brighter Future Start Here.
Aplikasi ini tergolong mudah dioperasikan. Pengguna hanya cukup login dan memasukkan data mengenai karakter diri dan juga jurusan yang diminati.
Data tersebut akan diproses dengan menghasilkan gambaran atau deskripsi mengenai seberapa besar kecocokan seseorang masuk dalam jurusan tersebut. “Hasilnya juga bisa langsung dicetak atau disimpan dalam bentuk dokumen,” kata Ridho, ketua tim Buster, Rabu (25/4).
Aplikasi ini dibuat dengan dasar ilmu psikologi. Mereka mengkonsultasikan kepada tenaga ahli yang handal dibidangnya. Ia adalah bagus Sanyoto, psikolog dan motivator lulusan Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang memiliki konsentrasi bidang psikologi pendidikan.
Aplikasi ini telah memberikan manfaat pada beberapa SMA di Surabaya seperti, SMA 2 Surabaya, SMA 17 Surabaya, dan SMA 18 Surabaya.
Masing-masing pihak sekolah banyak memberikan tanggapan positif. “Dulu pernah ada juga yang seperti ini, tapi caranya masih manual,” ungkap Rukmi Susilowati, Wakil Kepala Sekolah SMA 17 Surabaya.
Salah satu murid sekolah tersebut ikut memberikan kesan positifnya melalui aplikasi ini. “Dengan ini kita jadi tahu kepribadian kita dan jurusan yang cocok seperti apa, cara pakainya juga gampang, tinggal klik-klik saja,” ungkap Amanda.
Aplikasi ini pun tengah didaftarkan melalui Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Ridho berharap aplikasi ini bisa digunakan lebih banyak lagi sekolah-sekolah di Surabaya maupun seluruh Indonesia. (okz/mba)

Empat Aspek Menemukan Passion Anda


Psikologi Zone – Walaupun setiap manusia memiliki passion, faktanya banyak yang tidak tahu apapassion dalam diri mereka. Bahkan tidak sedikit orang yang mengaku menemukan passion mereka, namun tidak tahu bagaimana mewujudkannya.

“Anda butuh duduk tenang dan berpikir agar menemukanpassion,” jelas Alexander Sriewijono, psikolog dan pendiri Daily Meaning, Kamis (19/4).
Ia menjelaskan, ada empat aspek yang mungkin bisa membantu seseorang untuk menemukan passiondan mewujudkannya.
Aspek pertama, “apa unsur dalam pekerjaan yang membuat Anda selalu bersemangat? atau aktivitas apa yang paling Anda sukai?” kata Alex. “Passion tidak selalu sama dengan pekerjaan.”
Aspek kedua, “hanya dengan mengenali diri sendiri seutuhnya, Anda bisa menjadi seseorang yang jauh lebih ‘bersinar’,”. katanya. Seseorang dapat menjalankan aktivitas atau pekerjaan dengan penuh gairah karena mereka telah berhasil merepresentasikan diri yang sebenarnya. Bila seseorang mengenali diri dengan baik, maka makin mudah orang tersebut menemukan passion.
Aspek ketiga, setiap orang bisa mempunyai passion yang sama dengan aktivitas atau pekerjaannya saat ini, namun bukan pekerjaan secara harfiah, ada yang ia kerjakan untuk menjadi ‘hidup’. Bila penulis ditanya “apa yang Anda kerjakan?”, Alex menyontohkan, seorang penulis bisa mengatakan “Saya mengerjakan sesuatu untuk mempengaruhi orang lain”.
Inilah yang membedakan seseorang dengan rekan kerja lainnya. Memahami apa yang dikerjakan, membuat orang tahu mengapa mereka melakukannya. Seseorang akan selalu bergairah menjalankan aktivitasnya.
Aspek keempat, seseorang yang memiliki passion akan selalu berpikir dari apa yang ingin ia lakukan, bukan dari apa yang ia punya. Bila seseorang memiliki uang 2 juta dan ditanya kemana mereka ingin berlibur enam bulan bulan ke depan? Seseorang bisa menjawab ke Eropa atau Bali. “Tak ada yang tak mungkin, dan semua hal bisa saja terjadi dalam hidup” kata Alex. Orang seperti ini menjawab atas dasar keinginannya, bukan dari apa yang ia punya.
Melalui aspek tersebut, seseorang bisa terbantu untuk memahami makna passion yang sebenarnya, hingga kemudian berhasil mewujudkannya. Gairah dan semangat dalam diri yang akhirnya membuat orang terdorong untuk mewujudkan keinginannya, termasuk hal-hal yang tidak mungkin dipikirkan oleh orang lain. (kmp/mba)

Selasa, 19 Juni 2012

Menggambar, Stimulasi Perkembangan Otak Anak


Psikologi Zone – Bila Anda memiliki anak yang aktif menggambar dan mewarnai, maka Anda perlu bersyukur. Kegiatan tersebut sangat membantu untuk perkembangan otak anak. Hal ini disampaikan oleh Harlina Hamid, S.Psi, M.Si, M.Psi, Psikolog, Ketua Jurusan Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM).

“Mewarnai dan men
ggambar membantu menjalankan fungsi berpikir si anak melalui ide-ide yang dituangkannya. Ini dapat mengasah otak halus dan kasar. Terutama bermanfaat untuk perkembangan otak halusnya,” terangnya, Kamis (24/5).
Ia menyarankan, kebiasaan untuk menggambar dan mewarnai perlu dikenal sejak usia dini. Menurutnya, usia satu tahun adalah usia yang tepat untuk mengenalkan alat menggambar seperti pensil, walaupun hanya sebatas memegang. Bila usia anak telah mencapai dua tahun, orang tua bisa mulai mengajarkan untuk menggambar dan mewarnai, walaupun hanya corat-coret.
Ibu dua putra ini mengatakan, berbagai macam warna juga bagus untuk dikenalkan sejak dini. “Warna-warni itu sebagai penyeimbang otak mereka. Justru bagus dikenalkan semuanya. Begitu juga dengan obyek gambar terserah dengan keinginan anak,” jelasnya.
Walaupun demikian, Harlina Hamid juga menyarankan untuk mengenalkan benda atau objek sekitar pada anak. “Bisa gambar burung atau bunga yang biasa dilihat si anak. Namun, le
bih bagusnya biarkan anak berpikir bebas atau out of the box yang diluar kebiasaan.”
Sementara itu, manfaat kegiatan ini menurut Guru Besar Bidang Psikologi UNM, Prof Dr Muhammad Jufri, S.Psi, M.Si adalah melatih motorik kasarnya menjadi motorik halus. “Selain itu, melatih imajinasi anak misalnya pada tema-tema tertentu ketika dia menggambar,” paparnya.
Ia mengingatkan, orang tua perlu untuk tetap mengapresiasi setiap hasil karya yang dibuat anak, apapun bentuknya. (fjr/mba)