Rabu, 04 Juli 2012

Tertawa, Cara Baru Menjadi Sehat


Psikologi Zone – Saat ini tertawa bisa dijadikan obat dan berkhasiat. Pernyataan ini bukan tanpa alasan dan bukti ilmiah.
Saat seseorang tertawa sampai terpingkal-pingkal, saat itu juga ia sudah mendapatkan manfaat sehatnya tertawa. Tertawa yang sehat tidak cukup hanya sekedar tertawa, namun sampai membuat seseorang terpingkal-pingkal.
“Pada saat tertawa sampai terpingkal, otot-otot bahu, dada, perut, dan pernapasan lebih bergiat. Jantung lebih terpacu, paru-paru lebih mekar, sekat rongga badan lebih mengembang, dan peredaran darah tubuh lebih deras,” tutur Dr. Handrawan Nadesul dalam sebuah buku berjudul “Jurus Sehat Tanpa Ongkos”.
Dibalik manfaat penting dari tertawa bagi kesehatan, justru semakin beranjak dewasa seseorang, frekuensi tertawa semakin berkurang. Anak-anak tertawa sebanyak 400 kali dalam satu hari, sedangkan pada usia lanjut hanya 15 kali.
Padahal tertawa dalam waktu satu menit sama dengan relaksasi selama 40 menit. Bila tertawa selama 15 menit identik dengan membakar 50 kalori tubuh.
“Manfaat terpenting tertawa menghasilkan hormon endorphin atau morfin produksi tubuh. Tonicum alami ini membantu mengendurkan rasa ‘perih pedih’ kehidupan,” jelasnya.
Manfaat lain dari pengenduran otot saat tertawa terpingkal adalah rendanya penyakit yang diakibatkan oleh stres.
“Stres mengendur dan badan jadi rileks. Segala keluhan dan penyakit yang timbul akibat stres dapat dicegah dan jadi mereda oleh tertawa,” kata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta ini.
Laughter Therapy atau terapi tertawa diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Madam Kataria (1995) di India. Sekarang ini, terapi tertawa sudah banyak dikenal oleh para ahli di seluruh dunia.
Di Indonesia, terapi tertawa dipelopori oleh Dr. Yul Iskandar, SpKJ. Bahkan, Hari Tertawa Sedunia juga diadakan di Denmark tahun 2000. Acara tersebut diikuti oleh 10.000 orang tertawa bersama-sama dan masuk dalam Guiness Book of World Record. (okz/mba)

Kemampuan Sosial Bantu Anak Beradaptasi


Psikologi Zone – Orang tua perlu untuk untuk membangun kompetensi sosial anak, mereka harus mulai membangun kecerdasan sosial sejak dini. Anak harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar mereka, menjalin hubungan emosional dan juga mendapatkan nutrisi yang seimbang.


Mengapa kemampuan sosial sangat penting? menurut Psikolog dan Direktur Personal Growth, Counseling & Development Centre, Jakarta, Ratih Ibrahim mengatakan, bila anak tidak dapat mencatat kompetensi sosial minimal usia enam tahun, maka sebagian besar anak-anak akan mengalami masalah saat dewasa dalam bidang tertentu.
“Hasil berbagai penelitian yang dilakukan dalam rentang waktu tahun 1990-2000 menunjukkan bahwa adaptasi sosial dan emosional anak jangka panjang, perkembangan akademik dan kognitifnya, dan kehidupannya,” paparnya belum lama ini.
Berbagai hasil studi tersebut menunjukkan betapa pentingnya perkembangan sosio-emosional anak saat mereka masih
dalam tahap pertumbuhan. Kemampuan sosial akan makin berkembang bila mereka ikut berpartisipasi aktif, bukan hanya mengamati dan merasakan pengaruh orang dewasa di sekitarnya.
“Jangan lupa bahwa orangtua merupakan role-model, dan anak dapat belajar untuk meniru sikap orang tua tersebut dengan lingkungan sosialnya. Mari para orangtua di Indonesia, kita bersama-sama mewujudkan dan mencetak anak yang life-ready di masa depannya, agar mereka mampu menjalani segala tantangan dunia,” jelasnya. (trbn/mba)

Selasa, 26 Juni 2012

Wanita Lebih Beresiko Kecanduan Facebook


Psikologi Zone – Hasil sebuah penelitian baru mengatakan bahwa wanita memiliki potensi lebih besar dari pada pria mengalami kecanduan pada jejaring sosial. Studi tersebut dipublikan dalam Psychological Reports Journal.

Penelitian ini dil
akukan oleh Cecilie Schou Andreassen, Torbjorn Torsheim, Geir Scott Brunborg, dan Stale Pallesen dari Department of Psychosocial Science University of Bergen, Norway.
Para psikolog yang tergabung dalam penelitian ini melibatkan 423 pelajar. Para peneliti akan mengamati tanda-tanda perilaku adaptif saat mereka menggunakan Facebook. Para peneliti menggunakan sebuah alat ukur yang disebut “Bergen Facebook Addiction Scale”.
Alat ukur tersebut dapat mengetahui bagaimana skor adiktif partisipan berdasarkan tingkat penggunaan Facebook. Nilai skala diukur mulai dari skala satu hingga skala lima. Selain menggunakan alat ukur, para siswa juga diminta memberikan komentar terkait dengan dorongan perasaan mereka untuk menggunakan Facebook. Termasuk saat kegagalan mereka untuk mengakses facebook dan pembatasan pengunaan jejaring sosial tersebut.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung, beberapa peserta menunjukkan tanda-tanda mengalami bentuk kecanduan Facebook. Bentuk adiktif tersebut sama dengan apa yang dialami seseorang yang mengalami kecanduan obat-ob
atan, alkohol, dan zat kimia lainnya.
Menurut para peneliti, siswa yang berusia lebih muda memiliki potensi lebih besar mengalami kecanduan jejaring sosial seperti Facebook dibandingkan dengan pelajar yang usianya lebih tua. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, wanita memiliki resiko lebih besar dibanding pria.
Para peneliti juga menambahkan, seseorang yang mengalami kecemasan atau ketidaknyamanan sosial lebih berpotensi menjadi pengguna setia situs jejaring sosial seperti facebook. Kondisi semacam ini bisa terjadi lantaran mereka merasa diberikan kemudahan untuk menyalurkan perasaan menggunakan teknologi dibandingkan saat berkomunikasi langsung. (kmp/mba)

Saat Frustasi Orang Juga Tersenyum


Psikologi Zone – Sebuah penelitian baru menemukan bahwa saat orang frustasi, mereka biasa tersenyum. Apakah Anda termasuk salah satu dari mereka? Ihsan Hoque, seorang peneliti dari Massachussets Institute of Technology, merancang sebuah program komputer yang dapat mengungkapkan perbedaan antara senyum kesenangan atau senyum dari bentuk frustasi.

Program tersebut dapat mengidentifikasi emosi penggunanya dan akan memberikan respon. Hasil penemuan ini diharapkan mampu membantu banyak tenaga profesional dalam memahami ekspresi orang autistik.
Penelitian ini diujicobakan oleh peneliti MIT Media Lab, para peserta diminta untuk mengeluarkan ekspresi kegembiraan atau frustasi, webcam kemudian akan merekam ekspresi mereka.
Pertama, para peserta diminta untuk mengikuti tes online yang dirancang untuk membuat mereka mengalami frustasi dan menonton video lucu untuk menciptakan respon kegembiraan.
Saat peserta diharuskan untuk pura-pura mengalami frustasi, 9 dari 10 peserta tidak tersenyum. Hal yang berbeda saat mereka benar-benar mengalami frustasi, sebanyak 90 persen dari mereka justru tersenyum.
“Penelitian ini mungkin menjadi awal pengetahuan untuk mengetahui hubungan senyuman dalam ekspresi emosi negatif. Ini menunjukkan pada kita bahwa tidak semua senyum bersifat positif,” papar Psikolog Prof Jeffrey Cohn, dari University of Pittsburgh, salah satu peneliti dalam studi tersebut, dikutip The Telegraph (28/5). (tgj/mba)

Senin, 25 Juni 2012

Buster, Aplikasi untuk Memilih Jurusan Sesuai Karakter

Psikologi Zone – Setiap akhir sekolah, banyak siswa kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA) mulai menentukan jurusan apa kelak yang akan mereka masuki dalam jenjang perkuliahan. Namun banyak diantara mereka justru tak tahun harus kemana.
Kini mereka tidak perlu lagi khawatir, melalui program karya mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, permasalahan bisa diatasi.
Sebuah aplikasi kreatif dari Adalah Mochammad Rashid Ridho, Ahmad Taufiqul Hafizh, Rachmadian M Pratiwi, Faishal Mufied Al-Anshary, dan Adhika Ilham Dhata Pratomo, dapat membantu siswa menentukan apa jurusan atau prodi yang sesuai dengan karakter diri mereka.
Hasil karya empat mahasiswa Sistem Informasi (SI) ITS dinamai dengan Buster, singkatan dari Brighter Future Start Here.
Aplikasi ini tergolong mudah dioperasikan. Pengguna hanya cukup login dan memasukkan data mengenai karakter diri dan juga jurusan yang diminati.
Data tersebut akan diproses dengan menghasilkan gambaran atau deskripsi mengenai seberapa besar kecocokan seseorang masuk dalam jurusan tersebut. “Hasilnya juga bisa langsung dicetak atau disimpan dalam bentuk dokumen,” kata Ridho, ketua tim Buster, Rabu (25/4).
Aplikasi ini dibuat dengan dasar ilmu psikologi. Mereka mengkonsultasikan kepada tenaga ahli yang handal dibidangnya. Ia adalah bagus Sanyoto, psikolog dan motivator lulusan Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang memiliki konsentrasi bidang psikologi pendidikan.
Aplikasi ini telah memberikan manfaat pada beberapa SMA di Surabaya seperti, SMA 2 Surabaya, SMA 17 Surabaya, dan SMA 18 Surabaya.
Masing-masing pihak sekolah banyak memberikan tanggapan positif. “Dulu pernah ada juga yang seperti ini, tapi caranya masih manual,” ungkap Rukmi Susilowati, Wakil Kepala Sekolah SMA 17 Surabaya.
Salah satu murid sekolah tersebut ikut memberikan kesan positifnya melalui aplikasi ini. “Dengan ini kita jadi tahu kepribadian kita dan jurusan yang cocok seperti apa, cara pakainya juga gampang, tinggal klik-klik saja,” ungkap Amanda.
Aplikasi ini pun tengah didaftarkan melalui Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Ridho berharap aplikasi ini bisa digunakan lebih banyak lagi sekolah-sekolah di Surabaya maupun seluruh Indonesia. (okz/mba)

Empat Aspek Menemukan Passion Anda


Psikologi Zone – Walaupun setiap manusia memiliki passion, faktanya banyak yang tidak tahu apapassion dalam diri mereka. Bahkan tidak sedikit orang yang mengaku menemukan passion mereka, namun tidak tahu bagaimana mewujudkannya.

“Anda butuh duduk tenang dan berpikir agar menemukanpassion,” jelas Alexander Sriewijono, psikolog dan pendiri Daily Meaning, Kamis (19/4).
Ia menjelaskan, ada empat aspek yang mungkin bisa membantu seseorang untuk menemukan passiondan mewujudkannya.
Aspek pertama, “apa unsur dalam pekerjaan yang membuat Anda selalu bersemangat? atau aktivitas apa yang paling Anda sukai?” kata Alex. “Passion tidak selalu sama dengan pekerjaan.”
Aspek kedua, “hanya dengan mengenali diri sendiri seutuhnya, Anda bisa menjadi seseorang yang jauh lebih ‘bersinar’,”. katanya. Seseorang dapat menjalankan aktivitas atau pekerjaan dengan penuh gairah karena mereka telah berhasil merepresentasikan diri yang sebenarnya. Bila seseorang mengenali diri dengan baik, maka makin mudah orang tersebut menemukan passion.
Aspek ketiga, setiap orang bisa mempunyai passion yang sama dengan aktivitas atau pekerjaannya saat ini, namun bukan pekerjaan secara harfiah, ada yang ia kerjakan untuk menjadi ‘hidup’. Bila penulis ditanya “apa yang Anda kerjakan?”, Alex menyontohkan, seorang penulis bisa mengatakan “Saya mengerjakan sesuatu untuk mempengaruhi orang lain”.
Inilah yang membedakan seseorang dengan rekan kerja lainnya. Memahami apa yang dikerjakan, membuat orang tahu mengapa mereka melakukannya. Seseorang akan selalu bergairah menjalankan aktivitasnya.
Aspek keempat, seseorang yang memiliki passion akan selalu berpikir dari apa yang ingin ia lakukan, bukan dari apa yang ia punya. Bila seseorang memiliki uang 2 juta dan ditanya kemana mereka ingin berlibur enam bulan bulan ke depan? Seseorang bisa menjawab ke Eropa atau Bali. “Tak ada yang tak mungkin, dan semua hal bisa saja terjadi dalam hidup” kata Alex. Orang seperti ini menjawab atas dasar keinginannya, bukan dari apa yang ia punya.
Melalui aspek tersebut, seseorang bisa terbantu untuk memahami makna passion yang sebenarnya, hingga kemudian berhasil mewujudkannya. Gairah dan semangat dalam diri yang akhirnya membuat orang terdorong untuk mewujudkan keinginannya, termasuk hal-hal yang tidak mungkin dipikirkan oleh orang lain. (kmp/mba)

Selasa, 19 Juni 2012

Menggambar, Stimulasi Perkembangan Otak Anak


Psikologi Zone – Bila Anda memiliki anak yang aktif menggambar dan mewarnai, maka Anda perlu bersyukur. Kegiatan tersebut sangat membantu untuk perkembangan otak anak. Hal ini disampaikan oleh Harlina Hamid, S.Psi, M.Si, M.Psi, Psikolog, Ketua Jurusan Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM).

“Mewarnai dan men
ggambar membantu menjalankan fungsi berpikir si anak melalui ide-ide yang dituangkannya. Ini dapat mengasah otak halus dan kasar. Terutama bermanfaat untuk perkembangan otak halusnya,” terangnya, Kamis (24/5).
Ia menyarankan, kebiasaan untuk menggambar dan mewarnai perlu dikenal sejak usia dini. Menurutnya, usia satu tahun adalah usia yang tepat untuk mengenalkan alat menggambar seperti pensil, walaupun hanya sebatas memegang. Bila usia anak telah mencapai dua tahun, orang tua bisa mulai mengajarkan untuk menggambar dan mewarnai, walaupun hanya corat-coret.
Ibu dua putra ini mengatakan, berbagai macam warna juga bagus untuk dikenalkan sejak dini. “Warna-warni itu sebagai penyeimbang otak mereka. Justru bagus dikenalkan semuanya. Begitu juga dengan obyek gambar terserah dengan keinginan anak,” jelasnya.
Walaupun demikian, Harlina Hamid juga menyarankan untuk mengenalkan benda atau objek sekitar pada anak. “Bisa gambar burung atau bunga yang biasa dilihat si anak. Namun, le
bih bagusnya biarkan anak berpikir bebas atau out of the box yang diluar kebiasaan.”
Sementara itu, manfaat kegiatan ini menurut Guru Besar Bidang Psikologi UNM, Prof Dr Muhammad Jufri, S.Psi, M.Si adalah melatih motorik kasarnya menjadi motorik halus. “Selain itu, melatih imajinasi anak misalnya pada tema-tema tertentu ketika dia menggambar,” paparnya.
Ia mengingatkan, orang tua perlu untuk tetap mengapresiasi setiap hasil karya yang dibuat anak, apapun bentuknya. (fjr/mba)

Masih Tabu Bicara Seks? Hati-hati Bisa Bahaya


Psikologi Zone – Banyak orang yang masih menganggap tabu urusan seks, sebab membicarakan dianggap hanya untuk orang dewasa dan seks sangat pribadi. Padahal seks adalah kebutuhan dasar manusia seperti halnya makan dan minum.
Menganggap seks adalah hal yang tabu dengan alasan norma tertentu, bisa berbalik menjadi bumerang karena setiap penanganan masalah kesehatan reproduksi bisa terhambat dan tidak berjalan dengan baik.
“Orang yang menganggap seks itu tabu adalah bahaya laten. AIDS masuk ke Indonesia pada tahun 1998. Banyak orang yang tidak percaya penyakit tersebut bisa masuk ke sini karena Indonesia adalah negara religius. Akhirnya penanganan AIDS kurang optimal,” kata Zoya Amirin, M.Psi, psikolog seksual dalam sebuah acara live streaming bertema Blogger Bicara Seks oleh BlogDetik, Kamis (3/5).
Ia mengaku prihatin dengan pembubaran sejumlah lokalisasi yang beralasan agama. Bila lokalisasi tersebut dibubarkan, maka para PSK yang biasa menaungi sebuah lokasi justru akan menyebar ke berbagai tempat. Kondisi ini malah membuat kondisi kesehatan para PSK sulit diatur dan dipantau.
“Dengan tersebarnya para PSK. Malah lebih sulit memberi perawatan dan memantau masalah kesehatannya. Kalau dibubarkan penyakitnya bisa kemana-mana,” papar Zoya.
Berbeda dengan negara tetangga Singapura, Zoya juga memberikan contoh, disana para PSK mendapatkan id card dan didata dengan rapi. Hal ini dapat membuat pengawasan dan pantauan kondisi kesehatan lebih mudah. Bila mereka tidak mematuhi pemeriksaan kesehatan, izin operasi mereka bisa dicabut dan dilarang.
Bila seks dibicarakan dengan cara yang baik, masyarakat akan terbuka wawasannya, misalnya bagaimana seks yang aman dan sehat. Khusus bagi anak-anak dan remaja, mereka sudah seharusnya mendapatkan pengajaran sex education yang baik. Usia remaja adalah masa puber, mereka perlu diajarkan pentingnya kontrasepsi.
Mengajarkan pentingnya kontrasepsi bukan berarti menyetujui anak melakukan seks bebas, namun mengenalkan apa bahaya seks bebas, misalnya terjangkit penyakit seksual menular dan hamil di luar nikah.
“Saya pernah menyuruh mahasiswa saya yang rata-rata usianya 20 tahunan untuk membeli kondom. Setelah membeli kondom, saya tanya apakah dengan membeli kondom lantas mereka jadi ingin berhubungan seks? Ternyata tidak. Jadi bukan kondom yang menjadi masalahnya, tapi kesiapan mental,” ungkap Zoya. (dtk/mba)

Senin, 18 Juni 2012

Galau Bisa Menyebabkan Gangguan Kejiwaan


Psikoloi Zone – Miris, galau sudah menjadi tren bagi kalangan remaja di Indonesia. Padahal galau yang memiliki intensitas yang terlalu sering, bisa mengakibatkan gangguan kejiwaan pada remaja. Gangguan tersebut dinamakan dengan bipolar, yaitu sebuah bentuk gangguan jiwa yang bersifat episodik atau berulang dalam jangka waktu tertentu. Gangguan ini biasa dimulai dari gejala perubahan mood (suana hati) dan bisa terjadi seumur hidup.
“Remaja yang dikenal sedang mengalami masa-masa galau, memang sangat mudah terserang depresi,” ungkap Dr A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ(K) Kepala Departemen Psikiatri RSCM.
Seseorang harus jeli melihat gejala bipolar sebagai bentuk penyesuaian diri atau sudah merupakan episode depresi.
“Kita harus lihat apakah itu hanya berupa penyesuaian diri pada keadaan atau kah sudah merupakan episode depresi,” kata Agung saat dalam seminar ‘Gangguan Bipolar: Dapatkah Dikendalikan?’ di Hotel JW Marriott Jakarta, Rabu (25/4).
Episode depresi biasa terjadi pada penderita bipolar, minimal setiap hari selama dua minggu.
“Hal ini dapat terlihat dari perilakunya, yang tidak mau bertemu dengan orang-orang, pesimistik, memikirkan sesuatu yang nihilistik, maka kemungkinan untuk dapat terpicu bipolar 30 persen,” papar Agung.
Perlu dibedakan antara depresi reaktif dan depresi pada gangguan bipolar. Tentu cara membedakannya dengan melakukan serangkaian tes tertentu. Hal ini diucapkan oleh dr.Handoko Daeng, SpKJ(K) Ketua Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), yang saat itu hadir dalam acara seminar.
“Jenis depresi yang berbeda, karena setiap orang pasti dapat merasakan sedih dan pesimis. Namun bila itu terjadi terus menerus atau disebut sebagai episode depresi, maka perlu dikhawatirkan,” jelas Daeng.
Beberapa masalah lain yang perlu diperhatikan adalah gangguan bipolar bisa mengakibatkan bunuh diri bagi penderitanya. Angka bunuh diri yang diakibatkan gangguan bipolar 20 kali lebih tinggi dibanding angka bunuh diri dalam populasi umum tanpa gangguan bipolar, yaitu 21,7 persen dibanding satu persen.
Ia mengatakan, bila dibandingkan dengan penderita skizofrenia, bipolar juga 2-3 kali berpotensi melakukan tindakan bunuh diri. Ada sekitar 10 hingga 20 persen penderita bipolar mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, dan 30 persen lainnya pernah mencoba bunuh diri. (ant/mba)

Renggut Masa Bermain, Eksploitasi Anak Marak di Jalanan


Psikologi Zone – Muncul keprihatinan mana kala melihat semakin marak fenomena anak-anak di bawah umur menjajakan koran dan dagangan lain di perempatan jalan protokol, traffic light, dan pinggir-pinggir jalan Kota Semarang. Sejumlah kalangan dan para pemerhati anak miris dibuatnya.
“Sangat memprihatinkan ketika anak-anak itu harus membantu orang tua mencari nafkah, sementara mereka sebenarnya harus bermain dan belajar. Jadi mereka ini masak sebelum saatnya,” kata psikolog Probowatie Tjondronegoro, Senin (23/4).
Pergaulan menjadi tidak terpantau, akibatnya buruk bagi perkembangan fisik dan psikologis anak. Bukan hanya orang tua yang harus bertanggung jawab, namun pihak pemerintah seharusnya turun tangan menanggapi fenomena ini.
“Pergaulan di jalan raya itu kan tidak terseleksi. Maka secara fisik dan psikologis (fenomena) ini jelas tidak baik, tidak oke. Ini merupakan persoalan serius yang bukan saja harus diselesaikan oleh para orang tua dari anak-anak itu, tapi juga persoalan kita dan pemerintah,” kata Probowatie di kantor Humas RS St Elisabeth.
Di kesempatan lain, Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri mengatakan, jumlah anak telantar di Indonesia sudah mencapai 4,5 juta anak, tersebar di berbagai daerah. Pemerintah melalui Kementerian Sosial sudah menyediakan dana sebesar 281 miliar rupiah, namun hanya cukup untuk menangani 175 ribu anak.
Pernyataan tersebut disampaikan menteri setelah menyerahkan bantuan kelompok usaha bersama (KUBE) di Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (23/4).
Menurutnya, anak telantar banyak disebabkan eksploitasi oleh orang tua, mereka dimanfaatkan untuk mencari uang. Tentu kondisi semacam ini membuat anak tidak tumbuh dengan sehat. Perlu adanya tindakan yang sinergi antara pemerintah, pekerja sosial, relawan dan masyarakat untuk menyelamatkan anak Indonesia.
Di Semarang, anak usia sekolah bahkan usia pra sekolah kerap terlihat di beberapa titik lalu lintas, misalnya di jalan Pahlawan, Pandanaran, Pemuda dan jalan protokol lain. Keberadaan mereka membuat kekhawatiran karna tidak mempedulikan laju kendaraan. (sm/rpk/mba)

Minggu, 17 Juni 2012

Mengenali Wajah Seseorang Melalui Bagian Wajah


Psikologi Zone – Bagaimana kita mengenali wajah seseorang? Sampai saat ini, sebagaian besar penelitian telah menjawab secara holistik atau keseluruhan. Hasil sebuah penelitian baru mengatakan lain dari teori yang sudah ada.
“Kami melihat per bagian dari wajah seperti mata, hidung, dan mulut yang kemudian memahami hubungan antar bagian tersebut. Cara ini ternyata lebih baik saat mengenali wajah seseorang.” kata Jason M. Gold, salah satu peneliti dari Indiana University, rilis Psychological Science (8/3).
Penelitian baru ini diterbitkan dalam jurnal Psychological Science edisi Maret 2012. Para peneliti terdiri dari Jason M. Gold dan Patrick J. Mundy dari Indiana University, satu lagi Bosco S. Tjan dari University of Southern California.
Studi ini menemukan bahwa kinerja seseorang saat mengenali wajah secara holistik tidak lebih baik saat mereka mengenali setiap bagian dari wajah yang ditunjukkan.
“Anehnya mengenali bagian-bagian wajah lebih baik dari pada mengenalinya secara holistik,” kata Gold.
Untuk memprediksi kinerja setiap peserta, para peneliti menggunakan model teoritis yang disebut Optimal Bayesian Integrator (OBI). OBI dapat mengukur keberhasilan seseorang dalam seri pengalaman sebuah sumber informasi, yang dalam penelitian adalah bagian-bagian wajah.
Nilai skor saat mengenali wajah dengan mengkombinasikan bagian-bagian wajah harus sama dengan jumlah skor per bagian wajah.
Dalam percobaan pertama, peserta ditunjukkan gambar bagian dari wajah tiga pria dan tiga wanita. Peserta akan melihat satu bagian wajah misalnya mata, kemudian gambar tersebut akan menghilang. Setelah itu enam gambar mata akan ditampilkan secara bersamaan dalam satu layar. Para peserta diminta memilih gambar mata mana yang baru dilihatnya.
Percobaan kedua dilakukan dengan menampilkan keseluruhan wajah dalam bentuk oval. Percobaan kedua ini ditujukan untuk menguji kembali teori sebelumnya melalui metode holistik.
Pada kedua eksperimen yang dilakukan, kinerja peserta dengan metode holistik tidak lebih baik dari pada metode per bagian. Temuan ini mengindikasikan bahwa mengenali bagian-bagian wajah berbeda dengan metode holistik, walaupun kemudian bagian wajah itu dikombinasikan.
“OBI menawarkan kerangka matematis yang jelas saat mempelajari kembali definisi sebuah konsep,” jelas Gold.
Temuan tersebut bisa menjadi rujukan dalam memahami gangguan kognitif seperti Prosopagnosia, yaitu ketidakmampuan mengenali wajah. Selain itu bisa membantu untuk membangun perangkat lunak sebagai pengamanan melalui detektor wajah.
Namun, nilai riil dalam penelitian ini menurut Gold, “Jika Anda ingin memahami kompleksitas dari pikiran manusia, maka memahami proses dasar bagaimana kita memandang sebuah pola dan objek adalah bagian penting dari sebuah teka-teki.” (mba)

Jenius dan Gangguan Jiwa Tidak Jauh Berbeda


Psikologi Zone – Banyak tokoh dunia yang dikenal dengan kejeniusannya, namun justru mengalami gangguan kejiwaan. Kondisi semacam ini membuat banyak orang mengira bahwa jenius dan sakit jiwa tidak jauh berbeda. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa kedua hal tersebut memang terkait.
Dasar pemikiran hubungan antara kejeniusan dengan kegilaan telah banyak menarik perhatian banyak orang sejak lama. Fakta tersebut muncul dari banyaknya tokoh jenius seperti, Isaac Newton, Ludwig van Beethoven, Edgar Allan Poe, dan John Nash, yang mengalami gangguan kejiwaan.
Hasil penelitian baru yang menyebutkan hubungan keduanya, telah dibahas dalam sebuah acara 5th annual World Science Festival pada 31 Mei di New York, Amerika Serikat.
Salah satu panelis acara tersebut adalah Kay Redfield Jamison, psikolog klinis dan profesor dari Johns Hopkins University School of Medicine. Ia mengatakan, temuan ini mendukung bahwa banyak orang jenius yang justru mengalami siksaan psikis. Kreativitas bagi mereka terkait dengan gangguan suasana hati atau bipolar.
Sebuah penelitian lain yang diterbitkan tahun 2010 di Swedia pada 700.000 orang usia 16 tahun. Penelitian ini dilakukan untuk menguji kecerdasan peserta dan menindaklanjuti apakah 10 tahun berikutnya ada kemungkinan mengalami penyakit mental.
“Mereka menemukan bahwa orang yang unggul saat mereka berusia 16 tahun empat kali lebih mungkin untuk terus mengembangkan gangguan bipolar,” ungkap Jamison, seperti dilansir Livescience, Selasa (5/6).
Gangguan bipolar merupakan merupakan perubahan suasana hati yang ekstrem, terdiri dari episode kebahagiaan (mania) dan depresi. Kemudian bagaimana siklus ini dapat menciptakan kreativitas?
“Orang-orang dengan bipolar cenderung menjadi kreatif ketika mereka keluar dari depresi berat. Ketika suasana hati membaik, kegiatan otaknya pun bergeser. Aktivitas mati di bagian bawah otak yang disebut lobus frontal dan menyala di bagian yang lebih tinggi dari lobus,” jelas James Fallon, neurobiologis dari University of California-Irvine, yang ikut menjadi panelis.
Fallon menambahkan, hebatnya, pergeseran yang sama juga terjadi saat kreativitas terjadi dengan sangat tinggi pada otak manusia.
“Ada hubungan antar sirkuit yang terjadi antara bipolar dan kreativitas,” jelas Fallon.
Namun, tidak selamanya dorongan kreativitas muncul saat setelah depresi muncul. Kondisi gangguan kejiwaan juga dapat melemahkan atau bahkan mengancam hidup seseorang. (dtk/mba)

Sabtu, 16 Juni 2012

Sensual, Budaya Dunia Hiburan Merubah Norma Masyarakat


Psikologi Zone – Cantik dan seksi sudah menjadi tren bagi artis dan dunia hiburan tanah air. Bagaimana tidak, sudah banyak foto-foto panas artis di Indonesia yang justru melambungkan nama mereka di ranah hiburan.

Menurut Psikolog bidang psikologi klinis, anak dan dewasa, Dani Tri Astuti, M.Psi mengatakan bahwa foto vulgar sangat menguntungkan dari segi bisnis, namun memiliki efek kurang baik bagi masyarakat, terutama remaja.
“Foto vulgar orang terkenal menjadikan pemberitaan dimana-mana, membuat masyarakat menjadi tertarik ingin melihat.
Penayangan televisi saat ini, saya merasakan dilema. Dimana televisi bila digunakan secara tepat guna, akan banyak berdampak positif, seperti bertambahnya informasi sehingga menambah wawasan. Hanya saja saat ini, masyarakat belum mengontrol diri secara bijak.” jelasnya saat dihubungi Psikologi Zone, Jumat (31/3).
Kebutuhan dan tingginya standar hidup, menyebabkan remaja tidak ragu-ragu untuk melakukan tindakan yang melawan norma dan aturan yang ada, seperti saat ini membuat foto vulgar demi popularitas dan mendapat pekerjaan.
“Perkembangan generasi muda saat ini telah berubah. Terjadi pergeseran norma. Perubahan seperti pergeseran norma-norma yang berlaku di masyarakat, dapat diamati pada gaya hidup dan perilaku remaja saat ini.” ungkapnya.
Menurut kantor berita Sidomi (24/2), beberapa artis yang sempat heboh melalui foto panas mereka antara lain Dewi Persik, Fahrani, Aline Adita, Davima, Cynthiara Alona, Julia Perez, Jenny Cortez, Andi Soraya, Jennifer Kurniawan, baru-baru ini adalah Nikita Mirzani, dan mungkin masih banyak lagi yang belum terungkap media.
Bahkan Putri Indonesia 2006 Agni Pratistha, ikut meramaikan ajang foto seronok ini. Seharusnya sebagai mantan Putri Indonesia, ia mengenal dengan baik budaya Indonesia.
Bukan hanya artis yang menjadi sorotan, namun lembaga penyiaran juga turut terkena sangsi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut Komisioner KPI, sudah ada beberapa lembaga penyiaran ditegur karna melanggar kaidah penyiaran.
“Saat ini ada sejumlah lembaga penyiaran yang ditegur karena menampilkan artis yang mengumbar seksualitas baik dari gaya maupun lirik lagu.” kata Azimah Subagijo, Komisioner KPI dikutip kapanlagi, Jumat (09/03).
Ia menjelaskan bahwa fokus KPI bukan pada artisnya, namun eksploitasi tayangan vulgar dan berbau seksualitas oleh lembaga penyiaran. Apalagi bila jam tayang di siang hari, tentu ini melanggar aturan dalam kaidah penyiaran di Indonesia.
Beberapa contoh yang telah ditegur adalah acara Kakek Kakek Narsis (KKN) TransTV akhir November lalu dan di Facebookers yang tayang di ANTV pertengahan Januari 2012, keduanya menampilkan artis Nikita Mirzani. Ada juga acara Klik! yang menampilkan lagu berjudul Hamil Duluan dari Tuti Wibowo. (mba) 

Kamis, 14 Juni 2012

Menanti Berkah Dibawah Pohon Dewandaru


===================================================================

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Gunung Kawi Jawa Timur selalu dimitoskan sebagai sarana pesugihan. Padahal sebenarnya tempat ini adalah punden Eyang Jogo. Namun karena pandangan miring itu sudah melekat dalam masyarakat, maka gunung Kawi tersebut dianggap mempunyai kekeramatan dalam hal perburuan harta kekayaan gaib lewat ritual pesugihan. Berburu pesugihan memang tidak boleh gegabah dan harus berpasrah diri. Dalam do’a pun, juga demikian. Keinginan supaya bisa menjadi kaya, bisa datang lebih cepat dari harapan, tetapi dapat juga malah sebaliknya. Pada ranah pesugihan, dikenal pesugihan Pohon Dewadaru.
Warga masyarakat Jawa mengenal satu tradisi yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun umurnya. Yakni, tradisi berburu kekayaan lazimnya disebut pesugihan. Untuk menggapainya ilmu tersebut (pesugihan) bukan perkara mudah. Karena dipercaya pelaku (orang bersangkutan) wajib menumbalkan nyawa, dari salah seorang anggota keluarganya, bisa istri, anak, menantu atau yang lainnya.
Kendati besar tebusan sekaligus resiko yang wajib dibayar, akan tetapi anehnya jumlah orang yang memburunya berkecenderungan terus bertambah pada setiap tahunnya. Hal itu berarti banyak orang yang ingin kaya raya dengan cara melakukan ritual pesugihan. 
Media permohonan pesugihan, bermacam-macam. Bisa melalui punden, makam, sendang, pohon, dan bentuk tempat keramat lain. Guna terkabulnya niatan itu, pelaku wajib atur sesaji pada penunggu gaib tempat tersebut. Fungsinya, yaitu untuk memanggil supaya penunggu gaib berkenan muncul sekaligus mendengar permintaan si pelaku. Dipercaya bahkan diyakini oleh sebagian orang terutama para pemburu kekayaan, saat melakukan doa, siapapun orangnya tidak boleh sembarangan.
Etika yang harus diikuti, antara lain harus santun, sabar dan fokus dengan apa yang diminta.  Semua hidupnya, digambarkan harus diserahkan terhadapnya, si penunggu gaib tempat keramat tersebut. Berperilaku seperti itu, memang tidak gampang, namun demi satu tujuan yang sudah diperhitungkan untung dan ruginya, pelaku mau tidak mau harus mengerjakannya dengan sepenuh hati. Agar penunggu gaib tempat keramat tersebut, bersedia menerima doanya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mengapa beberapa peziarah memilih pohon dewandaru sebagai tempat ritual di Gunung Kawi?
2.      Bagaiamana motivasi para peziarah dalam melakukan ritual disekitar pohon dewandaru?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui alasan para peziarah melakukan ritual pada salah satu tempat sakral di area Gunung Kawi.
2.      Mengamati motivasi-motivasi yang timbul pada peziarah saat melakukan ritual disekitar pohon dewandaru.



===================================================================

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Pengertian Ritual
Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan.
Menurut Bustanuddin (2006), ritual adalah kata sifat (adjective) dari rites dan juga ada yang merupakan kata benda. Sebagai kata sifat, ritual adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan. Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu yang menuntut ia diperlukan secara khusus. Masudnya adalah ada suatu tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan. Dalam agama, upacara ritual atau ritus itu biasa dikenal dengan ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembahyang. Setiap agama mengajarkan berbagai macam ibadat, doa, dan bacaan-bacaan pada momen tertentu.
Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus dilakukan ada yang mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sacral ketika akan turun ke sawah, ada untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan dating. Ritus berhubungan dengan kekuatan supernatural dan kesakralan tertentu. Irtual sama dengan ibadah dalam arti sempit. Sedangkan agama pada umumnya tidaklah mengatur cara melaksanakan ritual saja. Ia juga memberikan aturan dan pedoman dalam hubungan dengan sesame manusia dan dengan alam sekitar.
Ada tata tertib tertentu harus dilakukan dan ada pula larangan atau pantangan yang harus dihindari yakni taboo. Taboo atau pantangan adalah suatu pelarangan social yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran taboo biasanya tidak dapat diterima dan dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat taboo bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Taboo juga dapat membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari sekitar. Taboo juga dipakaikan kepada pelanggaran yang sangat prinsipil dalam ajaran suatu agama atau kepercayaan masyarakat seperti zina.

B.     Pengertian Motivasi
Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah-laku, dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat). Menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Gray (dalam Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu.
Morgan (dalam Soemanto, 1987) mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating states), tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut (motivated behavior), dan tujuan dari pada tingkah laku tersebut (goals or ends of such behavior). McDonald (dalam Soemanto, 1987) mendefinisikan motivasi sebagai perubahan tenaga di dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi mencapai tujuan. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula (Suprihanto dkk, 2003).
Soemanto (1987) secara umum mendefinisikan motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi pencapaian tujuan. Karena kelakuan manusia itu selalu bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan bagi tingkahlaku mencapai tujuan,telah terjadi di dalam diri seseorang.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah energi aktif yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan pada diri sesorang yang nampak pada gejala kejiwaan, perasaan, dan juga emosi, sehingga mendorong individu untuk bertindak atau melakukan sesuatu dikarenakan adanya tujuan, kebutuhan, atau keinginan yang harus terpuaskan.

1.      Motivasi menurut Abraham Maslow

           a.                   Kebutuhan fisiologis (physiological needs)
                                    Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar, termasuk di dalamnya adalah makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu tubuh, dan lain-lain. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang mempunyai kekuatan atau pengaruh paling besar dari semua kebutuhan (Feist,2009).
b.                  Kebutuhan akan keamanan (safety needs)
                        Ketika manusia telah memenuhi kebutuhan fisiologisnya, maka manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan akan keamanan, yang termasuk di dalamnya adalah keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, dan kebebasan dari kekuatan-kekuatan yang mengancam, seperti perang, terorisme, penyakit, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam. Kebutuhan akan hokum, ketenteraman, dan keteraturan juga merupakan bagian dari kebutuhan akan keamanan (Feist,2009).
Dalam tingkatan kebutuhan ini, anak-anak lebih sering termotivasi olehkebutuhan akan rasa aman karena mereka hidup dengan ketakutan akan gelap, binatang, orang asing, dan hukuman dari orang tua. Namun, sebagian besar orang dewasa cenderung merasa tidak aman karena ketakutan yang tidak masuk akal dari masa kecil yang terbawa hingga masa dewasa dan menyebabkan mereka bertindak seolah merasa takut akan hukuman dari orang tua. Mereka menghabiskan lebih banyak energy daripada energiyang dibutuhkan orang yang sehat untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan ketika mereka tidak berhasil memenuhi kebutuhan rasa aman tersebut, mereka akan mengalami kecemasan dasar (basic anxiety) (Feist,2009).
c.                   Kebutuhan akan cinta dan keberadaan (love ang belongingness needs)
                                    Setelah seseorang memenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa amannya, mereka menjadi termotivasi oleh kebutuhan akan cinta dan keberadaan (love and belongingness), seperti keinginan untuk berteman, keinginan untuk mempunyai pasangan dan anak, kebutuhan untuk menjadi bagian dari keluarga, sebuah perkumpulan, lingkungan masyarakat, atau Negara. Cinta dan keberadaan juga mencakup beberapa aspek dari seksualitas dan hubungan dengan manusia lain dan juga kebutuhan untuk member dan mendapatkan cinta (Feist,2009).
                                    Orang yang kebutuhan akan cinta dan keberadaannya cukup terpenuhi sejak dari masa kecil tidak menjadi panic ketika cintanya ditolak. Orang yang semacam ini mempunyai kepercayaan diri bahwa mereka akan diterima oleh orang-orang yang penting bagi mereka. Jadi, ketika orang lain menolak mereka, mereka tidak merasa hancur (Feist,2009).
                                    Kelompok kedua adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tidak pernah merasakan cinta dan keberadaan.Oleh karena itu, mereka menjadi tidak mampumemberikan cinta. Maslow percaya bahwa orang-orang semacam ini lama-kelamaan akan belajar untuk tidak mengutamakan cinta dan terbiasa dengan ketidakhadiran cinta (Feist,2009).
                                    Kelompok ketiga adalah orang-orang yang menerima cinta dan keberadaan hanya dalam jumlah yang sedikit.Oleh karena hanya menerima sedikit cinta dan keberadaan, maka mereka sangat termotivasi untuk mencarinya. Dengan kata lain, orang yang menerima sedikit cinta mempunyai kebutuhan akan kasih sayang dan penerimaan yang lebih besar daripada orang yang menerima cinta dalam jumlah cukup atau tidak menerima cinta sama sekali (Feist,2009).
d.             Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs)
Setelah kebutuhan akan cinta dan keberadaaan terpenuhi, orang-orang cenderung bebas untuk mengejar kebutuhan akan penghargaan, yang mencakup penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan, dan pengetahuan yang orang lain hargai tinggi. Maslow (1970) mengidentifikasi dua tingkatan kebutuhan akan penghargaan yaitu reputasi dan harga diri. Reputasi adalah persepsi akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki seseorang dilihat dari sudut pandang orang lain. Sedangkan harga diri adalah perasaan pribadi seseorang bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri. Harga diri menggambarkan sebuah keinginan untuk memperoleh kekuatan, pencapaian atau keberhasilan, kecukupan, penguasaan, kemampuan, dan kepercayaan diri di hadapan orang lain (Feist,2009).
e.              Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization needs)
                                    Setelah semua kebutuhan pada tingkatan yang rendah terpenuhi, orang secara otomatis beranjak pada tingkatan berikutnya. Akan tetapi, setelah kebutuhan akanpenghargaan terpenuhi, orang tidak selalu bergerak menutu tingkat aktualisasi diri. Orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai seperti kejujuran, keindahan, keadilan, dan lainnya akan mengaktualisasikan dirinya setelah kebutuhan akan penghargaannya terpenuhi, sememntara orang-orang yang tidak memiliki nilai-nilai tersebut tidak akan mengaktualisasikan dirinya walaupun mereka telah memenuhi masing-masing dari kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya (Feist,2009).
                                    Menurut Maslow (1970), Kebutuhan akan aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua potensi diri, dan keinginan untuk menjadi sekreatif mungkin. Orang-orang yang telah mencapai level aktualisasi diri menjadi manusia yang seutuhnya, memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang orang lain hanya melihat sekilas atau bahkan tidak pernah melihatnya (Feist,2009).


 ===================================================================

BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Desain Penelitian
      Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan metode observasi dan wawancara. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data otentik jawaban dari tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai partisipan total. Yang dimaksud dengan partisipan total ialah peneliti terjun langsung dalam penelitian, peneliti juga ikut melakukan aktivitas-aktivitas yang dilakukan subjek, dan keberadaan peneliti tidak diketahui oleh subjek.
B.     Fokus Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti ingin fokus meneliti tentang hal-hal apa saja yang dilakukan peziarah saat berada disekitar pohon yang dikeramatkan (pohon dewandaru). Dan juga melihat pengaruh sugesti yang membuat mereka berada disekitaran pohon dewandaru.
C.    Subjek Penelitian
Teknik pengambilan subjek dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik pengambilan subjek penelitian dengan pertimbangan tertentu. Sebelum melaksanakan penelitian, terlebih dahulu peneliti membuat karakteristik subjek yang akan diteliti. Karakteristik subjek pada penelitian ini ialah orang dewasa yang sedang berada di kawasan pesarean.
Peneliti mengambil subjek dengan kisaran umur diatas 30 tahun. Dimana subjek seperti ini sudah bisa membantu memberikan jawaban-jawaban yang realistis dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan peneliti.
D.    Lokasi Penelitian            
Dalam penelitian ini, peneliti memilih kawasan pesarean Gunung Kawi sebagai lokasi penelitian. Dan difoukuskan pada tempat sekitar pohon dewandaru. Dengan landasan, di kawasan pesarean pengunjung melakukan ritual-ritual yang sesuai dengan rumusan masalah pada penelitian ini.
E.     Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, teknik yang digunakan ialah:
1.      Observasi
Observasi merupakan pengamatan langsung dengan menggunakan panca indera terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan. Dalam pelaksanaan observasi dapat dilakukan secara langsung peneliti ikut berpartisipasi dalam kegiatan dan dapat juga tidak ikut dalam kegiatan yang sedang diteliti. Pada pelaksanaan penelitian, peneliti mempergunakan teknik observasi, dengan maksud untuk dapat mengamati lebih seksama unsur-unsur yang diteliti.
Pelaksanaan penelitian ini berfokus pada motivasi pengunjung datang ke pesarean. observasi dilaksanakan selama proses wawancara dan termasuk ke dalam jenis observasi tidak terstruktur.
2.      Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian kualitatif, melalui wawancara dapat dilakukan kegiatan percakapan langsung dengan responden. Terdapat 3 macam teknik dalam wawancara, yakni wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur. (1) Wawancara terstruktur, teknik ini digunakan untuk mendapatkan data apabila peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh; (2) Wawancara semiterstruktur, pemakaian teknik ini dimaksudkan untuk membuka permasalahan yang lebih luas sehingga diharapkan gagasan dan ide dari para responden/ informan tentang permasalahan tersebut; (3) Wawancara tidak berstruktur, ada dua jenis wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang berfokus dan wawancara bebas. Wawancara berfokus terpusat kepada satu pokok masalah tertentu, sedangkan wawacanra bebas pertanyaan yang beralih-alih dari satu pokok masalah ke pokok yang lain, sepanjang berkaitan dengan dan menjelaskan aspek-aspek masalah yang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan 1 macam teknik wawancara, yakni wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur dilakukan peneliti melalui kegiatan wawancara dengan subjek.
3.      Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan menghimpun berbagai informasi berupa catatan-catatan, laporan, arsip dan peristiwa yang terekam, yang berhubungan dengan kegiatan yang diteliti kemudian menganalisisnya. Tujuan adalah mendukung  dan melengkapi data dan informasi yang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Pada teknik ini, peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan Gunung Kawi dan pohon dewandaru.
F.     Teknik Analisa Data
Analisa yang dimaksud adalah upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang persoalan yang diteliti.
Teknik analisa data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode coding. Terdapat 3 model coding yang digunakan dalam penelitian. Diantaranya ialah:
1.      Open Coding
Open coding merupakan proses untuk mengurai, menelaah, mengartikan data, membandingkan, mengkategorisasikan data-data yang diperoleh dari wawancara dan observasi.
2.      Axial Coding
Axial coding merupakan prosedur yang diarahkan untuk melihat keterkaitan antara kategori-kategori yang dihasilkan melalui open coding. Dalam axial coding terdapat beberapa kondisi yang dapat digunakan untuk melihat saling keterkaitan itu:
a.       Fenomena utama (central phenomenon)
b.      Kondisi yang menjadi penyebab (causal conditions)
c.       Konsekuensi atau hasil dari suatu aksi atau interaksi (consequences)
d.      Aksi atau interaksi atau strategi untuk merespon atau menangani satu fenomena (strategies)
e.       Konteks atau situasi tertentu tempat atau yg mempengaruhi terjadinya aksi, interaksi, atau strategi (context)
f.       Intervening conditions atau structural conditions yg mem-fasilitasi atau menghambat dikembangkan suatu strategi tertentu
3.      Selective Coding
Selective coding merupakan satu proses rekonseptualisasi kategori pokok dalam satu cerita atau narasi. Narasi ini diarahkan untuk menggambarkan dan menjelaskan dinamika fenomena utama yang menjadi fokus penelitian dalam satu bentuk yang integratif.
G.    Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, keabsahan data merupakan usaha untuk meningkatkan kepercayaan data. Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan validitas dan reabilitas, karena hal tersebut adalah syarat utama yang menjadi penilaian ilmiah sebuah penelitian.

  
       Dalam validitas terdapat beberapa jenis validasi, yakni:
1.      Reflective Validity
Validitas ini mengandung maksud agar aspek/variabel terukur hendaknya dapat merefleksikan variabel yang sebenarnya hendak diukur.
2.      Ironic Validity
Proses ini, peneliti mengkatagorikan keadaan-keadaan di lapangan yang dapat menguatkan central phenomenon.
3.      Neo-pragmatic Validity
Validitas ini adalah kebenaran ilmu yang diperoleh berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berpikir penelitian si peneliti, yang pada dasarnya mengutamakan kritik  terhadap berbagai macam masalah yang dihadapi.
4.      Rhizomatic Validity
Validitas ini mencoba untuk memberi gambaran bahwa tidak ada peristiwa yang terjadi secara linear, namun dengan perhatian yang tinggi, setiap peristiwa itu dapat dipahami dan diungkap banyak cerita sebagai kebenaran yang sahih.
5.      Situated Validity
6.      Sedangkan validitas ini memberikan contoh  kebenaran validitas feminist dalam situasi dominasi pengaruh pria. Dimana wanita ingin mengekspresikan perilakunya, tampilannya, emosinya, sifat keibuannya secara beragam.



Sama halnya dengan validitas, reabilitas yang digunakan peneliti dalam penelitian ini juga terdapat beberapa jenis, yakni:
a.       Quixotic Reliability
Reliabilitas ini berdasarkan kondisi di lapangan. Penggunaan satu macam metode (observasi) yang secara teratur dilakukan di lapangan akhirnya akan meng-hasilkan satu ukuran yang tidak berubah. Kelemahan reliabilitas ini adalah sangat tergantung pada kualitas pengelolaan data peneliti.
b.      Diachronic Reliability
Reliabilitas ini menekankan pada  persamaan kegiatan pengukuran (temuan) yang selalu berbeda disetiap waktu. Karenanya data/informasi akan mengalir sesuai dengan konteks kesejarahannya. Dari sanalah dapat dipahami adanya keragaman & persamaan.
c.       Synchronic Reliability
Reliabilitas ini mengacu pada kesesuaian data/informasi di setiap kegiatan pengumpulan data. Dalam mengamati perilaku manusia seringkali didapati adanya persamaan sikap, motif & perilaku.


 ====================================================================

BAB IV
PEMBAHASAN
Gunung Kawi Jawa Timur selalu dimitoskan sebagai sarana pesugihan. Padahal sebenarnya tempat ini adalah punden Eyang Jogo. Namun karena pandangan miring itu sudah melekat dalam masyarakat, maka gunung Kawi tersebut dianggap mempunyai kekeramatan dalam hal perburuan harta kekayaan gaib lewat ritual pesugihan. Berburu pesugihan memang tidak boleh gegabah dan harus berpasrah diri. Dalam do’a pun, juga demikian. Keinginan supaya bisa menjadi kaya, bisa datang lebih cepat dari harapan, tetapi dapat juga malah sebaliknya. Pada ranah pesugihan, dikenal pesugihan Pohon Dewadaru.
Warga masyarakat Jawa mengenal satu tradisi yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun umurnya. Yakni, tradisi berburu kekayaan lazimnya disebut pesugihan. Untuk menggapainya ilmu tersebut (pesugihan) bukan perkara mudah. Karena dipercaya pelaku (orang bersangkutan) wajib menumbalkan nyawa, dari salah seorang anggota keluarganya, bisa istri, anak, menantu atau yang lainnya.
Kendati besar tebusan sekaligus resiko yang wajib dibayar, akan tetapi anehnya jumlah orang yang memburunya berkecenderungan terus bertambah pada setiap tahunnya. Hal itu berarti banyak orang yang ingin kaya raya dengan cara melakukan ritual pesugihan. 
Media permohonan pesugihan, bermacam-macam. Bisa melalui punden, makam, sendang, pohon, dan bentuk tempat keramat lain. Guna terkabulnya niatan itu, pelaku wajib atur sesaji pada penunggu gaib tempat tersebut. Fungsinya, yaitu untuk memanggil supaya penunggu gaib berkenan muncul sekaligus mendengar permintaan si pelaku. Dipercaya bahkan diyakini oleh sebagian orang terutama para pemburu kekayaan, saat melakukan doa, siapapun orangnya tidak boleh sembarangan.
Etika yang harus diikuti, antara lain harus santun, sabar dan fokus dengan apa yang diminta.  Semua hidupnya, digambarkan harus diserahkan terhadapnya, si penunggu gaib tempat keramat tersebut. Berperilaku seperti itu, memang tidak gampang, namun demi satu tujuan yang sudah diperhitungkan untung dan ruginya, pelaku mau tidak mau harus mengerjakannya dengan sepenuh hati. Agar penunggu gaib tempat keramat tersebut, bersedia menerima doanya.
Pohon dewandaru merupakan pohon tua dan dikeramatkan sekaligus dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan atau pesugihan. Pohon itu terdapat di area pesarean Gunung Kawi, masuk wilayah Kabupaten Malang, Jatim. Masyarakat menamai pohon Dewadaru tersebut sebagai pohon pesugihan.
Bahkan ada juga yang menamainya sebagai pohon kesabaran. Dalam keyakinan masyarakat Tiong Hoa, Dewadaru, jenisnya termasuk jenis Pohon Shianto atau pohon Dewa. Siapapun yang kejatuhan pohon ini, dipercaya bisa menjadi kaya raya. Hanya saja, untuk mendapatkan daunnya, tidak boleh dipetik atau dipanjat pohonnya dan juga tidak boleh diambil dengan galah.
Akan tetapi, yang bersangkutan harus duduk bersila, sambil terus memanjatkan doa tanpa putus sembari menunggu jatuhnya helai demi helai daun pohon keramat tersebut.  Ketika jatuh, puluhan orang yang ada di bawah, langsung berebut untuk mengambilnya.
Selanjutnya daun dibungkus dengan selembar uang, kemudian disimpan di dalam dompet. Seperti itulah satu mitos soal pohon Dewadaru, yang dipercaya daunnya bisa membuat manusia menjadi kaya raya.  
Dalam sejarahnya, pohon yang mirip pohon crème ini, ditanam oleh Eyang Jugo dan Eyang Sujo, sebagai perlambang daerah gunung Kawi dan sekitarnya aman sejahtera. Eyang Jugo dan Eyang Sujo, dimakamkan di satu liang lahat. Lokasinya, tak jauh dari tumbuhnya pohon tersebut.
Keduanya dulunya merupakan pejuang, bala tentara Pangeran Diponegoro. Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo Atau Raden Mas Iman Sudjono adalah Bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat adu domba kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar. Sedangkan Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah gunung Kawi itu.
Motivasi mereka datang untuk melakukan ritual di bawah pohon Dewandaru dipengaruhi oleh keinginan-keinginan yang ada dalam diri mereka sendiri. Keinginan-keinginan yang ada seperti menjadi kaya, sukses dan rejekinya lancar, tetapi ada juga yang mempunyai keinginan agar anaknya sembuh dari penyakit.
Teori milik Abraham Maslow juga dapat kita dekatkan dengan fenomena ini. Abraham Maslow mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut sering kita sebut sebagai Hirarki Kebutuhan Maslow. Disini ada kebutuhan dari Hirarki Kebutuhan Maslow yang belum terpenuhi, yakni kebutuhan akan penghargaan serta kebutuhan aktualisasi diri.
Disini subjek pernah mengalami kegagalan serta usaha yang subjek tekuni belum sukses. Hal tersebut membuatnya merasa belum berprestasi dan tidak berkompetensi. Karena belum terpenuhinya kebutuhan tersebut, mendorong subjek untuk rutin mendatangi gunung kawi agar kebutuhan akan penghargaan lebih cepat terpenuhi. Sedangkan tidak terpenuhnya kebutuhan aktualiasi diri terjadi karena subjek belum memenuhi hirarki kebutuhan yang ke 4 yakni kebutuhan akan penghargaan. Maslow menjelaskan, individu tidak akan bisa memenuhi kebutuhan tertinggi atau kebutuhan yang ke 5 sebelum kebutuhan-kebutuhan yang sebelumnya terpenuhi.

====================================================================

BAB V
PENUTUP

Dari penjelasan pada halaman-halaman sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa keyakinan dan motivasi mempengaruhi individu berperilaku, berfikir, serta cara pandang. Seperti yang terjadi pada subjek kami. Adanya interaksi sosial membuat prilaku, berfikir, serta cara pandang subjek kami berubah. Karena adanya sugesti dari temannya, subjek sangat sering mendatangi gunung Kawi, untuk memperoleh hal-hal yang telah temannya ceritakan. Dan juga faktor imitasi dari pengunjung Gunung Kawi yang sebelumnya subjek mendatangi gunung kawi dan melakukan ritual-ritual seperti yang peziarah lain lakukan.
Disini subjek yang saya teliti merasa masih kurang puas dengan apa yang dia dapatkan. Subjek masih menginginkan usaha yang ia geluti bisa lebih berkembang lagi. Karena hal tersebut subjek sering datang ke pesarean gunung Kawi untuk meminta agar usaha yang ia geluti bisa lebih berkembang dan ia lebih sukses. Karena belum terpenuhinya kebutuhan tersebut, mendorong subjek untuk rutin mendatangi gunung kawi agar kebutuhan akan penghargaan lebih cepat terpenuhi.

====================================================================

DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi 
http://id.wikipedia.org/wiki/Ritual