Minggu, 17 Juni 2012

Mengenali Wajah Seseorang Melalui Bagian Wajah


Psikologi Zone – Bagaimana kita mengenali wajah seseorang? Sampai saat ini, sebagaian besar penelitian telah menjawab secara holistik atau keseluruhan. Hasil sebuah penelitian baru mengatakan lain dari teori yang sudah ada.
“Kami melihat per bagian dari wajah seperti mata, hidung, dan mulut yang kemudian memahami hubungan antar bagian tersebut. Cara ini ternyata lebih baik saat mengenali wajah seseorang.” kata Jason M. Gold, salah satu peneliti dari Indiana University, rilis Psychological Science (8/3).
Penelitian baru ini diterbitkan dalam jurnal Psychological Science edisi Maret 2012. Para peneliti terdiri dari Jason M. Gold dan Patrick J. Mundy dari Indiana University, satu lagi Bosco S. Tjan dari University of Southern California.
Studi ini menemukan bahwa kinerja seseorang saat mengenali wajah secara holistik tidak lebih baik saat mereka mengenali setiap bagian dari wajah yang ditunjukkan.
“Anehnya mengenali bagian-bagian wajah lebih baik dari pada mengenalinya secara holistik,” kata Gold.
Untuk memprediksi kinerja setiap peserta, para peneliti menggunakan model teoritis yang disebut Optimal Bayesian Integrator (OBI). OBI dapat mengukur keberhasilan seseorang dalam seri pengalaman sebuah sumber informasi, yang dalam penelitian adalah bagian-bagian wajah.
Nilai skor saat mengenali wajah dengan mengkombinasikan bagian-bagian wajah harus sama dengan jumlah skor per bagian wajah.
Dalam percobaan pertama, peserta ditunjukkan gambar bagian dari wajah tiga pria dan tiga wanita. Peserta akan melihat satu bagian wajah misalnya mata, kemudian gambar tersebut akan menghilang. Setelah itu enam gambar mata akan ditampilkan secara bersamaan dalam satu layar. Para peserta diminta memilih gambar mata mana yang baru dilihatnya.
Percobaan kedua dilakukan dengan menampilkan keseluruhan wajah dalam bentuk oval. Percobaan kedua ini ditujukan untuk menguji kembali teori sebelumnya melalui metode holistik.
Pada kedua eksperimen yang dilakukan, kinerja peserta dengan metode holistik tidak lebih baik dari pada metode per bagian. Temuan ini mengindikasikan bahwa mengenali bagian-bagian wajah berbeda dengan metode holistik, walaupun kemudian bagian wajah itu dikombinasikan.
“OBI menawarkan kerangka matematis yang jelas saat mempelajari kembali definisi sebuah konsep,” jelas Gold.
Temuan tersebut bisa menjadi rujukan dalam memahami gangguan kognitif seperti Prosopagnosia, yaitu ketidakmampuan mengenali wajah. Selain itu bisa membantu untuk membangun perangkat lunak sebagai pengamanan melalui detektor wajah.
Namun, nilai riil dalam penelitian ini menurut Gold, “Jika Anda ingin memahami kompleksitas dari pikiran manusia, maka memahami proses dasar bagaimana kita memandang sebuah pola dan objek adalah bagian penting dari sebuah teka-teki.” (mba)

Jenius dan Gangguan Jiwa Tidak Jauh Berbeda


Psikologi Zone – Banyak tokoh dunia yang dikenal dengan kejeniusannya, namun justru mengalami gangguan kejiwaan. Kondisi semacam ini membuat banyak orang mengira bahwa jenius dan sakit jiwa tidak jauh berbeda. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa kedua hal tersebut memang terkait.
Dasar pemikiran hubungan antara kejeniusan dengan kegilaan telah banyak menarik perhatian banyak orang sejak lama. Fakta tersebut muncul dari banyaknya tokoh jenius seperti, Isaac Newton, Ludwig van Beethoven, Edgar Allan Poe, dan John Nash, yang mengalami gangguan kejiwaan.
Hasil penelitian baru yang menyebutkan hubungan keduanya, telah dibahas dalam sebuah acara 5th annual World Science Festival pada 31 Mei di New York, Amerika Serikat.
Salah satu panelis acara tersebut adalah Kay Redfield Jamison, psikolog klinis dan profesor dari Johns Hopkins University School of Medicine. Ia mengatakan, temuan ini mendukung bahwa banyak orang jenius yang justru mengalami siksaan psikis. Kreativitas bagi mereka terkait dengan gangguan suasana hati atau bipolar.
Sebuah penelitian lain yang diterbitkan tahun 2010 di Swedia pada 700.000 orang usia 16 tahun. Penelitian ini dilakukan untuk menguji kecerdasan peserta dan menindaklanjuti apakah 10 tahun berikutnya ada kemungkinan mengalami penyakit mental.
“Mereka menemukan bahwa orang yang unggul saat mereka berusia 16 tahun empat kali lebih mungkin untuk terus mengembangkan gangguan bipolar,” ungkap Jamison, seperti dilansir Livescience, Selasa (5/6).
Gangguan bipolar merupakan merupakan perubahan suasana hati yang ekstrem, terdiri dari episode kebahagiaan (mania) dan depresi. Kemudian bagaimana siklus ini dapat menciptakan kreativitas?
“Orang-orang dengan bipolar cenderung menjadi kreatif ketika mereka keluar dari depresi berat. Ketika suasana hati membaik, kegiatan otaknya pun bergeser. Aktivitas mati di bagian bawah otak yang disebut lobus frontal dan menyala di bagian yang lebih tinggi dari lobus,” jelas James Fallon, neurobiologis dari University of California-Irvine, yang ikut menjadi panelis.
Fallon menambahkan, hebatnya, pergeseran yang sama juga terjadi saat kreativitas terjadi dengan sangat tinggi pada otak manusia.
“Ada hubungan antar sirkuit yang terjadi antara bipolar dan kreativitas,” jelas Fallon.
Namun, tidak selamanya dorongan kreativitas muncul saat setelah depresi muncul. Kondisi gangguan kejiwaan juga dapat melemahkan atau bahkan mengancam hidup seseorang. (dtk/mba)