Senin, 18 Juni 2012

Galau Bisa Menyebabkan Gangguan Kejiwaan


Psikoloi Zone – Miris, galau sudah menjadi tren bagi kalangan remaja di Indonesia. Padahal galau yang memiliki intensitas yang terlalu sering, bisa mengakibatkan gangguan kejiwaan pada remaja. Gangguan tersebut dinamakan dengan bipolar, yaitu sebuah bentuk gangguan jiwa yang bersifat episodik atau berulang dalam jangka waktu tertentu. Gangguan ini biasa dimulai dari gejala perubahan mood (suana hati) dan bisa terjadi seumur hidup.
“Remaja yang dikenal sedang mengalami masa-masa galau, memang sangat mudah terserang depresi,” ungkap Dr A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ(K) Kepala Departemen Psikiatri RSCM.
Seseorang harus jeli melihat gejala bipolar sebagai bentuk penyesuaian diri atau sudah merupakan episode depresi.
“Kita harus lihat apakah itu hanya berupa penyesuaian diri pada keadaan atau kah sudah merupakan episode depresi,” kata Agung saat dalam seminar ‘Gangguan Bipolar: Dapatkah Dikendalikan?’ di Hotel JW Marriott Jakarta, Rabu (25/4).
Episode depresi biasa terjadi pada penderita bipolar, minimal setiap hari selama dua minggu.
“Hal ini dapat terlihat dari perilakunya, yang tidak mau bertemu dengan orang-orang, pesimistik, memikirkan sesuatu yang nihilistik, maka kemungkinan untuk dapat terpicu bipolar 30 persen,” papar Agung.
Perlu dibedakan antara depresi reaktif dan depresi pada gangguan bipolar. Tentu cara membedakannya dengan melakukan serangkaian tes tertentu. Hal ini diucapkan oleh dr.Handoko Daeng, SpKJ(K) Ketua Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), yang saat itu hadir dalam acara seminar.
“Jenis depresi yang berbeda, karena setiap orang pasti dapat merasakan sedih dan pesimis. Namun bila itu terjadi terus menerus atau disebut sebagai episode depresi, maka perlu dikhawatirkan,” jelas Daeng.
Beberapa masalah lain yang perlu diperhatikan adalah gangguan bipolar bisa mengakibatkan bunuh diri bagi penderitanya. Angka bunuh diri yang diakibatkan gangguan bipolar 20 kali lebih tinggi dibanding angka bunuh diri dalam populasi umum tanpa gangguan bipolar, yaitu 21,7 persen dibanding satu persen.
Ia mengatakan, bila dibandingkan dengan penderita skizofrenia, bipolar juga 2-3 kali berpotensi melakukan tindakan bunuh diri. Ada sekitar 10 hingga 20 persen penderita bipolar mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, dan 30 persen lainnya pernah mencoba bunuh diri. (ant/mba)

Renggut Masa Bermain, Eksploitasi Anak Marak di Jalanan


Psikologi Zone – Muncul keprihatinan mana kala melihat semakin marak fenomena anak-anak di bawah umur menjajakan koran dan dagangan lain di perempatan jalan protokol, traffic light, dan pinggir-pinggir jalan Kota Semarang. Sejumlah kalangan dan para pemerhati anak miris dibuatnya.
“Sangat memprihatinkan ketika anak-anak itu harus membantu orang tua mencari nafkah, sementara mereka sebenarnya harus bermain dan belajar. Jadi mereka ini masak sebelum saatnya,” kata psikolog Probowatie Tjondronegoro, Senin (23/4).
Pergaulan menjadi tidak terpantau, akibatnya buruk bagi perkembangan fisik dan psikologis anak. Bukan hanya orang tua yang harus bertanggung jawab, namun pihak pemerintah seharusnya turun tangan menanggapi fenomena ini.
“Pergaulan di jalan raya itu kan tidak terseleksi. Maka secara fisik dan psikologis (fenomena) ini jelas tidak baik, tidak oke. Ini merupakan persoalan serius yang bukan saja harus diselesaikan oleh para orang tua dari anak-anak itu, tapi juga persoalan kita dan pemerintah,” kata Probowatie di kantor Humas RS St Elisabeth.
Di kesempatan lain, Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri mengatakan, jumlah anak telantar di Indonesia sudah mencapai 4,5 juta anak, tersebar di berbagai daerah. Pemerintah melalui Kementerian Sosial sudah menyediakan dana sebesar 281 miliar rupiah, namun hanya cukup untuk menangani 175 ribu anak.
Pernyataan tersebut disampaikan menteri setelah menyerahkan bantuan kelompok usaha bersama (KUBE) di Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (23/4).
Menurutnya, anak telantar banyak disebabkan eksploitasi oleh orang tua, mereka dimanfaatkan untuk mencari uang. Tentu kondisi semacam ini membuat anak tidak tumbuh dengan sehat. Perlu adanya tindakan yang sinergi antara pemerintah, pekerja sosial, relawan dan masyarakat untuk menyelamatkan anak Indonesia.
Di Semarang, anak usia sekolah bahkan usia pra sekolah kerap terlihat di beberapa titik lalu lintas, misalnya di jalan Pahlawan, Pandanaran, Pemuda dan jalan protokol lain. Keberadaan mereka membuat kekhawatiran karna tidak mempedulikan laju kendaraan. (sm/rpk/mba)