Selasa, 19 Juni 2012

Menggambar, Stimulasi Perkembangan Otak Anak


Psikologi Zone – Bila Anda memiliki anak yang aktif menggambar dan mewarnai, maka Anda perlu bersyukur. Kegiatan tersebut sangat membantu untuk perkembangan otak anak. Hal ini disampaikan oleh Harlina Hamid, S.Psi, M.Si, M.Psi, Psikolog, Ketua Jurusan Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM).

“Mewarnai dan men
ggambar membantu menjalankan fungsi berpikir si anak melalui ide-ide yang dituangkannya. Ini dapat mengasah otak halus dan kasar. Terutama bermanfaat untuk perkembangan otak halusnya,” terangnya, Kamis (24/5).
Ia menyarankan, kebiasaan untuk menggambar dan mewarnai perlu dikenal sejak usia dini. Menurutnya, usia satu tahun adalah usia yang tepat untuk mengenalkan alat menggambar seperti pensil, walaupun hanya sebatas memegang. Bila usia anak telah mencapai dua tahun, orang tua bisa mulai mengajarkan untuk menggambar dan mewarnai, walaupun hanya corat-coret.
Ibu dua putra ini mengatakan, berbagai macam warna juga bagus untuk dikenalkan sejak dini. “Warna-warni itu sebagai penyeimbang otak mereka. Justru bagus dikenalkan semuanya. Begitu juga dengan obyek gambar terserah dengan keinginan anak,” jelasnya.
Walaupun demikian, Harlina Hamid juga menyarankan untuk mengenalkan benda atau objek sekitar pada anak. “Bisa gambar burung atau bunga yang biasa dilihat si anak. Namun, le
bih bagusnya biarkan anak berpikir bebas atau out of the box yang diluar kebiasaan.”
Sementara itu, manfaat kegiatan ini menurut Guru Besar Bidang Psikologi UNM, Prof Dr Muhammad Jufri, S.Psi, M.Si adalah melatih motorik kasarnya menjadi motorik halus. “Selain itu, melatih imajinasi anak misalnya pada tema-tema tertentu ketika dia menggambar,” paparnya.
Ia mengingatkan, orang tua perlu untuk tetap mengapresiasi setiap hasil karya yang dibuat anak, apapun bentuknya. (fjr/mba)

Masih Tabu Bicara Seks? Hati-hati Bisa Bahaya


Psikologi Zone – Banyak orang yang masih menganggap tabu urusan seks, sebab membicarakan dianggap hanya untuk orang dewasa dan seks sangat pribadi. Padahal seks adalah kebutuhan dasar manusia seperti halnya makan dan minum.
Menganggap seks adalah hal yang tabu dengan alasan norma tertentu, bisa berbalik menjadi bumerang karena setiap penanganan masalah kesehatan reproduksi bisa terhambat dan tidak berjalan dengan baik.
“Orang yang menganggap seks itu tabu adalah bahaya laten. AIDS masuk ke Indonesia pada tahun 1998. Banyak orang yang tidak percaya penyakit tersebut bisa masuk ke sini karena Indonesia adalah negara religius. Akhirnya penanganan AIDS kurang optimal,” kata Zoya Amirin, M.Psi, psikolog seksual dalam sebuah acara live streaming bertema Blogger Bicara Seks oleh BlogDetik, Kamis (3/5).
Ia mengaku prihatin dengan pembubaran sejumlah lokalisasi yang beralasan agama. Bila lokalisasi tersebut dibubarkan, maka para PSK yang biasa menaungi sebuah lokasi justru akan menyebar ke berbagai tempat. Kondisi ini malah membuat kondisi kesehatan para PSK sulit diatur dan dipantau.
“Dengan tersebarnya para PSK. Malah lebih sulit memberi perawatan dan memantau masalah kesehatannya. Kalau dibubarkan penyakitnya bisa kemana-mana,” papar Zoya.
Berbeda dengan negara tetangga Singapura, Zoya juga memberikan contoh, disana para PSK mendapatkan id card dan didata dengan rapi. Hal ini dapat membuat pengawasan dan pantauan kondisi kesehatan lebih mudah. Bila mereka tidak mematuhi pemeriksaan kesehatan, izin operasi mereka bisa dicabut dan dilarang.
Bila seks dibicarakan dengan cara yang baik, masyarakat akan terbuka wawasannya, misalnya bagaimana seks yang aman dan sehat. Khusus bagi anak-anak dan remaja, mereka sudah seharusnya mendapatkan pengajaran sex education yang baik. Usia remaja adalah masa puber, mereka perlu diajarkan pentingnya kontrasepsi.
Mengajarkan pentingnya kontrasepsi bukan berarti menyetujui anak melakukan seks bebas, namun mengenalkan apa bahaya seks bebas, misalnya terjangkit penyakit seksual menular dan hamil di luar nikah.
“Saya pernah menyuruh mahasiswa saya yang rata-rata usianya 20 tahunan untuk membeli kondom. Setelah membeli kondom, saya tanya apakah dengan membeli kondom lantas mereka jadi ingin berhubungan seks? Ternyata tidak. Jadi bukan kondom yang menjadi masalahnya, tapi kesiapan mental,” ungkap Zoya. (dtk/mba)